Archive for December, 2007

Memanas, tapi tak Membawa Perubahan

December 29, 2007

CATATAN POLITIK REGIONAL JAWA BARAT
Oleh: Machmud Mubarok, Dedi Herdiana, dan Ichsan

SEKELOMPOK orang berseragam organisasi massa dan kepemudaan bergerak menuju pusat kota Indramayu. Sambil berteriak-teriak menumpahkan kekecewaan, mereka mencabuti spanduk-spanduk dukungan terhadap “Danny-Yance” yang dipasang di sejumlah ruas jalan kota Indramayu. Cat piloks mereka semprotkan untuk menutup wajah Danny di sebuah billboard besar. Tak puas hanya mencopot, massa pun membakar spanduk dan baliho-baliho itu. Mereka marah karena Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin, akrab disapa Yance, tidak dipilih Partai Golkar mendampingi calon gubernur, Danny Setiawan. Bagi mereka, sosok Yance adalah representasi masyarakat Pantura, yang selama ini mereka anggap tersisihkan dalam percaturan politik Jawa Barat. Peristiwa itu berekor. Tuntutan agar wilayah Pantura ömerdekaö dari Jawa Barat pun mencuat kembali.

*****

TAHUN 2008 adalah tahun paling krusial bagi Jawa Barat. Situasi sosial dan politik akan bergejolak. Hal itu disebabkan, 16 kabupaten/kota menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam waktu yang berdekatan. Dan di puncak pira-mida, Pemilihan Gubernur Jabar menjadi pusat pergeseran peta politik Jabar.

Pemilihan Gubernur Jawa Barat merupakan pilkada yang sangat strategis. Sebagai daerah penyangga ibukota negara, posisi Jawa Barat tentu diperhitungkan, baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi. Setidaknya, pemimpin di provinsi itu memiliki daya tawar yang tinggi, dalam kaitannya dengan otonomi daerah.

Di sisi lain, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah pendu-duk terbanyak. Data terakhir BPS Jabar menunjukkan, jum-lah penduduk Jabar saat ini adalah 39.130.736 jiwa. Lebih banyak 2 juta jiwa dari Jatim atau 7 juta jiwa dari Jawa Te-ngah. Dengan jumlah penduduk yang gemuk, jumlah pemilih pun paling banyak. Sedikitnya ada 29,3 juta warga yang me-miliki hak pilih pada Pilgub 2008 mendatang.

Karena posisinya yang strategis sebagai lumbung suara ter-besar itulah, Jawa Barat menjadi incaran partai politik, ter-utama partai politik besar, untuk merebut kursi Jabar 1. Langsung atau tidak langsung, kemenangan di Pilgub Jabar, menjadi bekal signifikan menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.

Sebagai pemenang Pemilu 2004 dengan raihan 29 kursi, PDIP tak ingin kehilangan muka di Tatar Sunda. Merebut kemenangan, berarti sudah menggenggam sebagian amunisi menuju Pilpres 2009. Terlebih, PDIP secara nasional menar-getkan untuk memenangkan 40-50 persen pilkada. Menurut Ketua DPP PDI P Bidang Politik dan Pemenangan Pemilu, Tjahjo Kumolo, hasil pilkada ini juga dianggap sebagai ujian sebelum menuju pelaksanaan Pemilu 2009.

“Target tersebut didasarkan pada kondisi peta politik dina-mis hasil Pemilu 2004 di tiap daerah,” kata Tjahjo, beberapa waktu lalu.

Begitu pula halnya dengan Partai Golkar. Golkar menca-nangkan merebut 60 persen kemenangan pilkada di seluruh Indonesia. Sayangnya, dari 323 Pilkada (gubernur, bupati, dan walikota) yang telah berlangsung sejak tahun 2005 hing-ga November 2007 ini, Partai Golkar baru memenangkan 115 atau 35 persen.

Pemenang Pilgub Jabar akan diuntungkan pada Pilpres 2009 juga dilihat pengamat politik dari Unpad, Dede Mariana, se-bagai hal yang wajar. Karena, kata Dede, partai yang berhasil membawa calonnya terpilih sebagai gubernur dan wakil gu-bernur periode 2008-2013, dalam politik praktis akan me-miliki akses yang lebih besar terhadap sumber sumber ke-kuasaan yang potensial digunakan dalam Pilpres. Kelebihan ini tentunya menjadi nilai tambah yang dapat digunakan un-tuk melakukan lobi politik dalam Pilpres nanti.

“Sikap parpol yang menjadikan Pilgub sebagai landasan un-tuk menghadapi Pilpres 2008 merupakan hal yang wajar da-lam praktik politik, karena saling keterkaitan antara dina-mika politik di daerah dengan di tingkat pusat. Apalagi Jabar memegang posisi strategis sebagai daerah penyangga ibu-kota, dengan jumlah pemilih yang cukup besar yakni sekitar 29 juta calon pemilih. Maka seringkali dinamika politik di Ja-bar dikaitkan dengan pertarungan politik para elite di Jakar-ta,” analisis Dede.

Pertarungan elite ini juga terlihat saat pengusungan cagub dan cawagub. Untuk memunculkan pasangan Agum Gumelar dan Rudi Harsa Tanaya, DPD PDIP Jabar harus tarik-mena-rik, baik dengan DPP PDIP maupun dengan partai lain yang ingin menyandingkan Agum dengan calonnya. Sampai kini, baru pasangan ini yang terlihat lumayan solid. Sementara partai lainnya, masih mencari cagub atau cawagub.

Ketidaksiapan parpol memunculkan kadernya ini pula yang sesungguhnya menyebabkan tahapan Pilgub diundur, selain alasan dana belum cair.

Semakin meruncing dan memanasnya situasi politik Jabar jelang Pilgub Jabar 2008, menjadikan tingkat kerawanan ke-amanan juga cukup tinggi. Kasus perusakan baliho dan span-duk di Indramayu serta demo-demo ketidakpuasan pelaksa-naan Pilkada di Kabupaten Purwakarta, hanyalah setitik api yang bisa membesar, jika tidak diwaspadai sejak dini.

Hal itu pula yang diingatkan pengamat politik dan intelijen, Herman Y Ibrahim. Herman mengatakan, situasi memanas ini akan terus terjadi sepanjang 2008. Namun ia lebih meng-khawatirkan, situasi panas ini tidak akan membawa per-ubahan apapun pada masyarakat Jabar.

Kerawanan dari sisi keamanan, menurut Ketua KPU Jabar, Setia Permana, terjadi di semua tahapan pelaksanaan Pil-kada di Jawa Barat. “Semua tahapan Pilkada itu rawan, baik itu tahap pencalonan, penetapan calon, pemungutan suara, penghitungan suara, maupun penetapan pemenang,” ujar Setia.

Karena itu pula, Kapolda Jabar, Irjen Pol Sunarko Danu Ardanto, menegaskan, pihaknya siap mengamankan pelaksanaan pemilihan gubernur dan pilkada di 16 kabupa-ten/kota di Jawa Barat pada tahun 2008 mendatang. Kota Cirebon adalah kota pertama yang menggelar pilkada di ta-hun 2008, disusul Kabupaten Purwakarta.

“Selama ini pelaksanaan pilkada di Jawa Barat relatif aman dibanding daerah lain. Hal ini terjadi karena ridla Allah, rasa ikut memiliki dari warga Jawa Barat, dan sinergitas antara pihak kepolisian dengan semua pihak terkait,” ujar Kapolda.

Di lain pihak, Herman Ibrahim melihat, panasnya situasi po-litik itu tidak akan turut “membakar” isu pemekaran wila-yah. Karena masalah pemekaran itu tidak hanya cukup de-ngan adanya keinginan yang disuarakan kaum elitenya, tapi pemerintah pusat pun akan benar-benar mengkaji soal perlu atau tidaknya suatu daerah dimekarkan dengan dasar peraturan dan perundang-undangan,” kata Herman.

Herman menyayangkan wacana pemekaran di wilayah Pan-tura yang muncul kembali di Indramayu belakangan ini, ter-jadi setelah DPD Golkar Jabar tidak mengusung Yance, Bu-pati Indramayu, sebagai cawagub.

“Kondisi ini menjadi tidak cantik. Karena memunculkan ke-san pemekaran wilayah itu muncul dari suara individu yang digiring menjadi suara publik. Padahal seharusnya itu di ba-lik, dengan semangat perubahan menuju peningkatan kese-jahteraan yang lebih baik, seorang individu harus membawa suara publik,” papar Herman.

Dede pun menyatakan, wacana pemisahan Pantura dari Ja-bar tidak akan menguat pada tahun 2008, apalagi diikuti wi-layah lain. “Kemungkinan besar tidak akan menguat, karena untuk memunculkan wacana pemekaran diperlukan penyan-dang dana yang cukup besar agar bisa mendorong berkem-bangnya gerakan sosial dan gerakan politik menuntut peme-karan. Dan jika hanya kepentingan politik sesaat, apalagi ti-dak didukung kekuatan politik dan kapital yang signifikan a-kan sulit mendorong berkembangnya tuntutan pemekaran,” kata Dede.

Meski tahapan Pilkada dan situasi keamanan 2008 dinilai rawan, Kapolda Jabar optimistis Jabar akan tetap aman. “Ki-ta terus memantau perkembangan dan kami percaya ma-syarakat Jawa Barat memiliki kesadaran untuk menjaga si-tuasi kamtibmas yang kondusif,” ujarnya.

Kita tentu berharap hal yang sama. Pilkada di kabupaten/kota serta Pilgub Jabar akan berjalan lancar. Namun yang patut dipertanyakan, akankah pilkada-pilkada dan Pilgub Jabar 2008 membawa perubahan signifikan untuk kesejah-teraan, ataukah justru akan memunculkan konflik horizontal di tengah masyarakat? Kita tinggal menunggu saja.(*)

Tribun Jabar, Sabtu 29 Desember 2007.

Persibku Sayang, Persibku Malang

December 29, 2007

LENGKAP sudah perjalanan Persib. Maung Bandung itu kehilangan taring di akhir-akhir Liga Indonesia 2007. Impian untuk menjadi juara Liga, atau sekadar berlaga di Stadion Senayan, pupus sudah. Kehilangan angka saat melawan Pelita Jaya Purwakarta, semakin membenamkan Persib dari tangga 8 Besar.

Digelontori belasan miliar dari APBD 2007, ternyata tak membuat prestasi Persib jadi kinclong. Posisi nomor wahid di putaran pertama tak mampu dipertahankan awak Persib. Justru di putaran kedua ini, seluruh persoalan seakan mengemuka. Mulai dari transfer pemain, gaji, dan puncaknya adalah mundurnya Arcan Iurie dari posisi pelatih.

Apa sesungguhnya yang kurang di tubuh Persib? Pemain? Oke, secara kualitas, bagus, dan merata. Tidak kalah dengan tim lain. Bekamenga, Barkawi, Eka Ramdani, dan Zaenal Arief, adalah nama- nama yang dengan kemampuan bagus. Belum pemain lainnya yang tak kalah bagusnya. Pelatih? Saat masih dipegang Iurie, tentu kita tidak menyangsikan kemampuan Iurie.

Profesional? Ini yang perlu dipertanyakan. Saat beberapa pemain mempersoalkan gaji yang telat, tentu harus menjadi bahan pemikiran serius manajemen. Ketika beberapa pemain asing bingung dengan batas akhir kontrak, tentu ini terkait dengan profesionalitas manajemen. Bagaimana dulu saat membuat kontrak? Kok bisa-bisanya pemain hengkang begitu rupa, di saat genting ketika Persib membutuhkan pemain.

Lantas bagaimana soal semangat pemain? Faktor ini yang perlu digenjot terus. Agar slogan “Persib Nu Aing” menjadi langkah kerja keras setiap pemain. Tak hanya terdengar keras dalam slogan, tapi juga membuktikan kerja keras di lapangan. Soliditas dan solidaritas, serta percaya pada teman dan pada pelatih, adalah hal-hal remeh yang menjadi santapan sehari-hari pemain Maung Bandung dan ditunjukkan saat bermain.

Benarlah ungkapan Dede Iskandar. Mantan pemain belakang Maung Bandung itu masih berharap pemain Persib ekstra semangat di dua partai sisa. Bagaimanapun, partai sisa itu menentukan langkah Persib untuk menatap Liga Super.

Terkait kegagalan pada Liga Indonesia 2007 ini, tentu kata maaf dari pengurus tak cukup memupus kesedihan, kegundahan, kekecewaan, dan ke-seubeul-an, semua pendukung setia Persib. Walau begitu, fanatisme pendukung Persib tak akan pernah luntur. Di Liga manapun Persib bermain, pasti terus didukung. Liga Indonesia, Liga Super, Divisi Utama, atau Divisi I sekalipun, Persib tetap memiliki Bobotoh.

Kini saatnya, Persib memikirkan liga-liga di masa depan. Persiapan lebih matang biasanya memberi hasil yang lebih baik. Mulai dari sekarang, Persib sudah harus menyiapkan pasukan untuk liga 2008. Saatnya pula, Persib melirik kemampuan pemain-pemain muda yang main di klub. Perbaikan sistem pembibitan pemain merupakan syarat utama untuk mendapatkan pemain jempolan. Sehingga saat berlaga di Liga, tidak terlalu mengandalkan pemain asing, apalagi yang suka jalir jangji.

Mudah-mudahan, Persib mendatang adalah Persib yang profesional di segala lini. Manajemen, pemain, pelatih, dan lain-lain yang mendukung kesolidan Maung Bandung, tanpa menghamburkan uang rakyat. (*)

NB: Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Senin 24 Desember 2007

Pertarungan Elite di Detik Terakhir

December 29, 2007

KONSTELASI politik Jawa Barat mendekati berakhirnya masa pengembalian formulir pendaftaran calon gubernur (cawagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) semakin memanas. Namun bisa dikatakan, belum ada pasangan yang betul-betul fiks, mantap, dan kokoh, bakal benar-benar melaju sebagai cagub dan cawagub.

Satu contoh saja, pasangan Agum Gumelar dan Rudi Harsa Tanaya yang diusung PDIP. Surat keputusan DPP PDIP memang mengamanatkan para kader partai banteng ini untuk memenangkan Agum-Rudi. Namun PPP pun mengklaim Agum bakal berpasangan dengan Nu’man Abdul Hakim.

Sampai kini, klaim siapa yang paling sahih, masih belum terjawab. Ini disebabkan sikap diam Agum Gumelar yang belum secara terbuka menyatakan kesediaannya diusung PDIP ataukah maju bersama Nu’man.

Partai Golkar sudah jelas mengusung Gubernur incumbent, Danny Setiawan, sebagai calon gubernur. Namun siapa yang bakal mendampinginya, masih belum diputuskan. Tinggal dua nama yang masuk dalam hitungan Partai Golkar untuk menjadi cawagub, yaitu Iwan R Sulandjana, mantan Pangdam III/Siliwangi, dan Ahmad Heryawan, cawagub dari PKS Jabar.

Golkar tengah menghitung secara matang calon pasangan Danny ini. Karena hanya dua nama saja yang tersisa, pilihannya gampang- gampang susah. Pilih nama yang familiar di masyarakat Jabar dan berpengalaman bekerjasama dengan incumbent tapi tidak memiliki basis massa partai, atau pilih nama yang tidak begitu familiar, tapi memiliki basis massa partai yang sangat solid. Di sisi lain, Partai Golkar pun harus mempertimbangkan pasangan calon lain, seandainya Agum-Nu’man benar-benar jadi kenyataan. Jadi tinggal seperti apa perhitungan elite Partai Golkar untuk memutuskan pasangan yang diharapkan menang dalam Pilgub.

Sementara partai-partai lain pun masih memiliki peluang untuk mengajukan calonnya. Jika tidak jadi berpasangan dengan Agum, jelas Nu’man harus maju dengan dukungan partai-partai lain. Belum lagi PKS, jika cawagubnya tidak diminati Partai Golkar. Tentu bakal ada pemetaan politik terbaru untuk memunculkan calon alternatif.

Bisa dipastikan, siapa yang bakal maju menjad cagub-cawagub baru bisa diketahui secara pasti saat detik-detik terakhir penutupan pengembalian formulir pendaftaran, Jumat 14 Desember 2007. Pertarungan elite akan semakin keras, dan kian menegangkan.

Dalam konteks proses awal Pilgub seperti saat ini, benar belaka bahwa politik adalah kepentingan dan cara untuk mencari kekuasaan. Sementara masyarakat awam, rakyat kebanyakan, hanya bisa menonton saja pertarungan elite, nun di atas sana itu. Siapa yang bakal jadi cagub dan cawagub untuk mereka pilih saat pencoblosan 13 April 2008, mereka lebih tidak tahu lagi. (*)

NB: Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Senin 10 Desember 2007

Sekarang Musim Hujan atau Kemarau?

December 29, 2007

JIKA ada orang bertanya, sekarang ini sedang musim hujan atau musim kemarau, pasti akan bingung menjawabnya. Dibilang musim hujan, tidak juga, karena panas begitu menyengat dan bisa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu lamanya. Dibilang musim kemarau, juga tidak. Karena sewaktu-waktu, hujan bisa turun, pagi atau sore hari.
Padahal, dulu sangat mudah membaca musim dan menjadi hafalan anak-anak SD. Musim kemarau terjadi pada April-Oktober, sementara musim hujan Oktober-April. Mudah bukan?

Masa transisi, begitu kalangan pengamat cuaca serta Badan Meteorologi dan Geofisika menyebut keadaan cuaca saat ini. Sebutan transisi itu sudah dikemukakan sejak dua atau tiga bulan lalu. Dan hingga kini ternyata masih masa transisi, belum benar-benar masuk ke musim hujan.

Pergeseran atau perubahan cuaca sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini. Akibatnya pun mulai terasa. Misalnya saja, petani, terutama yang tergantung pada hujan, kesulitan menentukan awal masa tanam. Ini berarti produksi padi terlambat. Atau bahkan produksi padi menurun, karena petani memaksakan menanam padi bukan saat masa tanam. Lalu terus merembet ke hilir hingga masalah kekurangan pangan.

Hebatnya lagi, musim transisi atau pancaroba kali ini diwarnai hembusan kencang angin puting beliung di sejumlah daerah. Angin berputar itu tak hanya menyambangi daerah dataran rendah, tapi juga dataran tinggi seperti Bandung. Angin berkecepatan 73 km per jam atau setara dengan 14 knot melaju kencang menumbangkan pohon-pohon.

Tak cukup dengan itu, air laut pasang pun menggenangi sebagian Jakarta. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Begitu pula, hujan sehari menyebabkan banding di daerah Kertasari, Kabupaten Bandung, dan mengirim luapan lumpur ke rumah-rumah warga. Musim transisi ini menjadi jeda waktu yang mengerikan, karena bencana seolah mengancam dari berbagai arah.

Adakah cuaca tak menentu saat ini terkait dengan perubahan iklim (Climate Change) atau Global Warming (Pemanasan Global)? Sangat mungkin itu yang terjadi. Perubahan iklim menyebabkan cuaca tak mudah diprediksi. Badai dan angin topan bermunculan di atas khatulistiwa dan memengaruhi musim secara keseluruhan.

Meningkatnya suhu bumi karena efek rumah kaca menjadi salah satu akibat yang harus ditanggung umat manusia. Bisa jadi, cuaca panas dan menyengat di Kota Bandung hari-hari ini, bagian dari pemanasan global itu. Dan tentu, penyebab lokal pun turut menyumbang, seperti penebangan hutan, pembangunan pemukiman yang menggerus tanah konservasi dan sebagainya.

Kita berharap penyelenggaraan Konferensi ke-13 PBB tentang Perubahan Iklim di Bali awal Desember mendatang menghasilkan komitmen kuat negara-negara di dunia untuk memperbaiki kondisi bumi. Kerusakan alam ini sudah begitu parah. Slogan Save Our Earth, sudah lama didengungkan, tapi tak semua pihak hirau.

Luas hutan yang hilang makin tak terkendali, pencemaran udara kian mengkhawatirkan. Eksplorasi alam tak terbarukan terus digenjot. Selama setahun, masyarakat Indonesia hanya menikmati udara bersih dua bulan. Belum lagi ketersediaan air bersih, sebagai tulang punggung kehidupan, yang kian berkurang. Inikah salah satu tanda akan berakhirnya dunia? Wallahu ‘alam bishawab. (*)
NB: Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 30 November 2007.