CATATAN POLITIK REGIONAL JAWA BARAT
Oleh: Machmud Mubarok, Dedi Herdiana, dan Ichsan
SEKELOMPOK orang berseragam organisasi massa dan kepemudaan bergerak menuju pusat kota Indramayu. Sambil berteriak-teriak menumpahkan kekecewaan, mereka mencabuti spanduk-spanduk dukungan terhadap “Danny-Yance” yang dipasang di sejumlah ruas jalan kota Indramayu. Cat piloks mereka semprotkan untuk menutup wajah Danny di sebuah billboard besar. Tak puas hanya mencopot, massa pun membakar spanduk dan baliho-baliho itu. Mereka marah karena Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin, akrab disapa Yance, tidak dipilih Partai Golkar mendampingi calon gubernur, Danny Setiawan. Bagi mereka, sosok Yance adalah representasi masyarakat Pantura, yang selama ini mereka anggap tersisihkan dalam percaturan politik Jawa Barat. Peristiwa itu berekor. Tuntutan agar wilayah Pantura ömerdekaö dari Jawa Barat pun mencuat kembali.
TAHUN 2008 adalah tahun paling krusial bagi Jawa Barat. Situasi sosial dan politik akan bergejolak. Hal itu disebabkan, 16 kabupaten/kota menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam waktu yang berdekatan. Dan di puncak pira-mida, Pemilihan Gubernur Jabar menjadi pusat pergeseran peta politik Jabar.
Pemilihan Gubernur Jawa Barat merupakan pilkada yang sangat strategis. Sebagai daerah penyangga ibukota negara, posisi Jawa Barat tentu diperhitungkan, baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi. Setidaknya, pemimpin di provinsi itu memiliki daya tawar yang tinggi, dalam kaitannya dengan otonomi daerah.
Di sisi lain, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah pendu-duk terbanyak. Data terakhir BPS Jabar menunjukkan, jum-lah penduduk Jabar saat ini adalah 39.130.736 jiwa. Lebih banyak 2 juta jiwa dari Jatim atau 7 juta jiwa dari Jawa Te-ngah. Dengan jumlah penduduk yang gemuk, jumlah pemilih pun paling banyak. Sedikitnya ada 29,3 juta warga yang me-miliki hak pilih pada Pilgub 2008 mendatang.
Karena posisinya yang strategis sebagai lumbung suara ter-besar itulah, Jawa Barat menjadi incaran partai politik, ter-utama partai politik besar, untuk merebut kursi Jabar 1. Langsung atau tidak langsung, kemenangan di Pilgub Jabar, menjadi bekal signifikan menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.
Sebagai pemenang Pemilu 2004 dengan raihan 29 kursi, PDIP tak ingin kehilangan muka di Tatar Sunda. Merebut kemenangan, berarti sudah menggenggam sebagian amunisi menuju Pilpres 2009. Terlebih, PDIP secara nasional menar-getkan untuk memenangkan 40-50 persen pilkada. Menurut Ketua DPP PDI P Bidang Politik dan Pemenangan Pemilu, Tjahjo Kumolo, hasil pilkada ini juga dianggap sebagai ujian sebelum menuju pelaksanaan Pemilu 2009.
“Target tersebut didasarkan pada kondisi peta politik dina-mis hasil Pemilu 2004 di tiap daerah,” kata Tjahjo, beberapa waktu lalu.
Begitu pula halnya dengan Partai Golkar. Golkar menca-nangkan merebut 60 persen kemenangan pilkada di seluruh Indonesia. Sayangnya, dari 323 Pilkada (gubernur, bupati, dan walikota) yang telah berlangsung sejak tahun 2005 hing-ga November 2007 ini, Partai Golkar baru memenangkan 115 atau 35 persen.
Pemenang Pilgub Jabar akan diuntungkan pada Pilpres 2009 juga dilihat pengamat politik dari Unpad, Dede Mariana, se-bagai hal yang wajar. Karena, kata Dede, partai yang berhasil membawa calonnya terpilih sebagai gubernur dan wakil gu-bernur periode 2008-2013, dalam politik praktis akan me-miliki akses yang lebih besar terhadap sumber sumber ke-kuasaan yang potensial digunakan dalam Pilpres. Kelebihan ini tentunya menjadi nilai tambah yang dapat digunakan un-tuk melakukan lobi politik dalam Pilpres nanti.
“Sikap parpol yang menjadikan Pilgub sebagai landasan un-tuk menghadapi Pilpres 2008 merupakan hal yang wajar da-lam praktik politik, karena saling keterkaitan antara dina-mika politik di daerah dengan di tingkat pusat. Apalagi Jabar memegang posisi strategis sebagai daerah penyangga ibu-kota, dengan jumlah pemilih yang cukup besar yakni sekitar 29 juta calon pemilih. Maka seringkali dinamika politik di Ja-bar dikaitkan dengan pertarungan politik para elite di Jakar-ta,” analisis Dede.
Pertarungan elite ini juga terlihat saat pengusungan cagub dan cawagub. Untuk memunculkan pasangan Agum Gumelar dan Rudi Harsa Tanaya, DPD PDIP Jabar harus tarik-mena-rik, baik dengan DPP PDIP maupun dengan partai lain yang ingin menyandingkan Agum dengan calonnya. Sampai kini, baru pasangan ini yang terlihat lumayan solid. Sementara partai lainnya, masih mencari cagub atau cawagub.
Ketidaksiapan parpol memunculkan kadernya ini pula yang sesungguhnya menyebabkan tahapan Pilgub diundur, selain alasan dana belum cair.
Semakin meruncing dan memanasnya situasi politik Jabar jelang Pilgub Jabar 2008, menjadikan tingkat kerawanan ke-amanan juga cukup tinggi. Kasus perusakan baliho dan span-duk di Indramayu serta demo-demo ketidakpuasan pelaksa-naan Pilkada di Kabupaten Purwakarta, hanyalah setitik api yang bisa membesar, jika tidak diwaspadai sejak dini.
Hal itu pula yang diingatkan pengamat politik dan intelijen, Herman Y Ibrahim. Herman mengatakan, situasi memanas ini akan terus terjadi sepanjang 2008. Namun ia lebih meng-khawatirkan, situasi panas ini tidak akan membawa per-ubahan apapun pada masyarakat Jabar.
Kerawanan dari sisi keamanan, menurut Ketua KPU Jabar, Setia Permana, terjadi di semua tahapan pelaksanaan Pil-kada di Jawa Barat. “Semua tahapan Pilkada itu rawan, baik itu tahap pencalonan, penetapan calon, pemungutan suara, penghitungan suara, maupun penetapan pemenang,” ujar Setia.
Karena itu pula, Kapolda Jabar, Irjen Pol Sunarko Danu Ardanto, menegaskan, pihaknya siap mengamankan pelaksanaan pemilihan gubernur dan pilkada di 16 kabupa-ten/kota di Jawa Barat pada tahun 2008 mendatang. Kota Cirebon adalah kota pertama yang menggelar pilkada di ta-hun 2008, disusul Kabupaten Purwakarta.
“Selama ini pelaksanaan pilkada di Jawa Barat relatif aman dibanding daerah lain. Hal ini terjadi karena ridla Allah, rasa ikut memiliki dari warga Jawa Barat, dan sinergitas antara pihak kepolisian dengan semua pihak terkait,” ujar Kapolda.
Di lain pihak, Herman Ibrahim melihat, panasnya situasi po-litik itu tidak akan turut “membakar” isu pemekaran wila-yah. Karena masalah pemekaran itu tidak hanya cukup de-ngan adanya keinginan yang disuarakan kaum elitenya, tapi pemerintah pusat pun akan benar-benar mengkaji soal perlu atau tidaknya suatu daerah dimekarkan dengan dasar peraturan dan perundang-undangan,” kata Herman.
Herman menyayangkan wacana pemekaran di wilayah Pan-tura yang muncul kembali di Indramayu belakangan ini, ter-jadi setelah DPD Golkar Jabar tidak mengusung Yance, Bu-pati Indramayu, sebagai cawagub.
“Kondisi ini menjadi tidak cantik. Karena memunculkan ke-san pemekaran wilayah itu muncul dari suara individu yang digiring menjadi suara publik. Padahal seharusnya itu di ba-lik, dengan semangat perubahan menuju peningkatan kese-jahteraan yang lebih baik, seorang individu harus membawa suara publik,” papar Herman.
Dede pun menyatakan, wacana pemisahan Pantura dari Ja-bar tidak akan menguat pada tahun 2008, apalagi diikuti wi-layah lain. “Kemungkinan besar tidak akan menguat, karena untuk memunculkan wacana pemekaran diperlukan penyan-dang dana yang cukup besar agar bisa mendorong berkem-bangnya gerakan sosial dan gerakan politik menuntut peme-karan. Dan jika hanya kepentingan politik sesaat, apalagi ti-dak didukung kekuatan politik dan kapital yang signifikan a-kan sulit mendorong berkembangnya tuntutan pemekaran,” kata Dede.
Meski tahapan Pilkada dan situasi keamanan 2008 dinilai rawan, Kapolda Jabar optimistis Jabar akan tetap aman. “Ki-ta terus memantau perkembangan dan kami percaya ma-syarakat Jawa Barat memiliki kesadaran untuk menjaga si-tuasi kamtibmas yang kondusif,” ujarnya.
Kita tentu berharap hal yang sama. Pilkada di kabupaten/kota serta Pilgub Jabar akan berjalan lancar. Namun yang patut dipertanyakan, akankah pilkada-pilkada dan Pilgub Jabar 2008 membawa perubahan signifikan untuk kesejah-teraan, ataukah justru akan memunculkan konflik horizontal di tengah masyarakat? Kita tinggal menunggu saja.(*)
Tribun Jabar, Sabtu 29 Desember 2007.